DITERIAKIN DI MYANMAR, APA SALAH SAYA?
Ketika berkeliling kota Yangon, Myanmar, seorang diri, saya mengenakan kaus putih, Longyi (sarung), serta sandal jepit hitam, layaknya pria asli Myanmar pada umumnya saat beraktivitas sehari-hari. Setelah terlihat seperti warga lokal, saya pun mencoba naik kendaraan umum semacam angkot omprengan. Di dalam angkot tersebut, sang kenek meneriaki saya tepat di depan muka, mencengkram bahu saya sembari menggoyang-goyang badan saya. Ia marah pada saya. Bagaimana ceritanya?
MYANMARCERITA TRAVELING
Rifa Mulyawan
9/18/20242 min read
Di Yangon, Myanmar, untuk bepergian di dalam kota, turis asing sangat disarankan untuk tidak bepergian dengan menggunakan bus kota nya -bahkan oleh Lonely Planet sekalipun. Hal ini dikarenakan faktor keamanan dan kenyamanan. Selain itu juga karena di busnya sama sekali tidak tertera nomor bus dan tujuan dalam angka/huruf latin.
Untuk jarak yang sama, harga naik taksi mencapai 10x lipat dari naik bus. Oleh karena itu, saya tetap nekat naik bus kemana-mana saat di Yangoon.
Mungkin karena sudah terbiasa naik PPD 213, Kopaja dan Metro Mini di jam padat, saya merasa naik bus kota di Myanmar ternyata aman-aman saja. Penasaran, saya pun mencoba naik kendaraan umum lainnya -yang terlihat lebih parah dari bus kotanya, yakni mini bus semacam mobil angkutan kota (posisi duduk di dalam seperti angkot di Jakarta, namun mobilnya seperti mini bus).
Tibalah saat sang kondektur/kenek meminta ongkos. Saya pun mengeluarkan ongkos 200 kyat (sekitar Rp 2000).
“Doung lang pung tong kong kha rong pali pali kwaa nuaw?” Tanya si kenek (saya tidak tahu kata-katanya, anggap saja begitu).
Saya tidak mengerti dia berbicara apa, tapi saya jawab saja tujuan saya mau ke mana. “Sule phaya,” kata saya, sok tau.
Si kenek kemudian kembali nanya, “dgaodnsfyksoms hssildgs afaoso sgskoa agsfso sjyksh??”Oh, mungkin dia kurang denger tadi saya ngomong apa. “Sule Phaya,” ujar saya, mengulang.
“Kagausj sjdksj sjsgsk sksosvc dndkls jsksoskj???” Tanyanya lagi.“Sule Phaya,” jawab saya, konsisten.
Mukanya seperti kurang puas dengan jawaban saya. Dia pun kembali bertanya. Kali ini dengan nada meninggi dan agak membentak saya, “sjsgs jdosk suisis soskshs bxkodksjuso soosi??!!”
Saya mulai panik. Tiba-tiba terbesit dalam pikiran saya, ‘oh mungkin ongkosnya kurang’.Saya ambil uang lagi dari tas saya, saya kasih dia 100 kyat tambahan.
Ternyata uang saya ditolak. Si abang kenek bersinglet hitam itu sepertinya kesal sendiri. Kedua tangannya kemudian mencengkram kedua bahu saya. Matanya melotot. Dia menggoyang-goyangkan badan saya dengan kedua tangannya, sambil meneriakan sebuah kalimat tanya tepat di depan muka saya, “JAVSUSO SKDJVSK SKKXGDOS HSISI GSJSJKK DKDKSJD SSKDIDBS KDODJDJJJSOL??!!!”
Dia teriak. Marah. Tepat di depan muka saya. Muncrat.
Dia marah. Tapi saya sedih, karena tak tahu dia marah ngomong apa.
Semua orang melihat ke arah saya. Saya tertunduk, bingung, lemas. Kedua tangannya masih memegang bahu saya. Saya rasa si abang kenek dan seluruh penumpang juga bingung karena mereka pasti mengira saya orang lokal, karena memang wajah warga Asia Tenggara yang mirip, ditambah lagi saya memakai kaus putih, longyi, dan sendal jepit hitam!
Akhirnya saya menyerah, saya harus mengaku kalau saya adalah orang asing di saba, “So-sorry, a a ai dont understand,” kata saya, setengah gugup bingung, panik, pasrah.
“I’m not from myanmar, I dont understand,” kata saya, berharap dia ngerti saya ngomong apa.
Terjadi akward moment. Si abang kenek seperti canggung, saya pun bingung. Akhirnya dia melepaskan cengkeramannya dari bahu saya. Sambil ngedumel, ia melanjutkan tugasnya meminta ongkos ke para penumpang lainnya.
Mini bus ini terus jalan. Saya masih keringetan. Penumpang lain pun terdiam, mereka seperti keheranan. Apalagi saya yang baru saja menjadi pusat perhatian.
Sepuluh menit kemudian, saya tiba di tempat tujuan saya, sekitar Sule Phaya.Saya turun dan mencoba menenangkan diri. Bersyukur, karena saya selamat.
Saya mengambil smartphone, membuka aplikasi chat dan segera menceritakan kejadian menegangkan yang baru saya alami tersebut kepada kekasih hati saya.
Lega. ❤
***
Waktu itu masih jadian. Hiks... 💔
***
Oh iya, sampai saat ini saya masih belum tahu juga sebenenarnya apa yang ditanyakan oleh si kenek itu. Biarlah menjadi misteri.